Metode bayi tabung yang dipelopori sejumlah dokter
Inggris ini untuk pertama kali berhasil menghadirkan bayi perempuan bernama
Louise Brown pada tahun 1978. Sebelum ditemukannya teknik bayi tabung, untuk
menolong pasutri tak subur digunakan teknik inseminasi buatan, yakni dengan
cara penyemprotan sejumlah cairan semen suami ke dalam rahim dengan bantuan
alat suntik. Dengan cara ini diharapkan sperma lebih mudah bertemu dengan sel
telur. Sayang, tingkat keberhasilannya hanya 15%.
Pada teknik bayi tabung atau in vitro fertilization yang melahirkan
Louis Brown, pertama-tama dilakukan perangsangan indung telur sang istri dengan
hormon khusus untuk menumbuhkan lebih dari satu sel telur. Perangsangan
berlangsung 5 - 6 minggu sampai sel telur dianggap cukup matang dan sudah
saatnya diambil. Selanjutnya, folikel atau gelembung sel telur diambil tanpa
operasi, melainkan dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal (melalui
vagina).
Sementara semua sel telur yang berhasil diangkat dieramkan dalam inkubator, air
mani suami dikeluarkan dengan cara masturbasi, dibersihkan, kemudian diambil
sekitar 50.000 - 100.000 sel sperma. Sperma itu ditebarkan di sekitar sel telur
dalam sebuah wadah khusus di dalam laboratorium. Sel telur yang terbuahi
normal, ditandai dengan adanya dua sel inti, segera membelah menjadi embrio.
Sampai dengan hari ketiga, maksimal empat embrio yang sudah berkembang
ditanamkan ke rahim istri. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan hormon
Beta-HCG dan urine untuk meyakinkan bahwa kehamilan memang terjadi.
Sejak kelahiran Louise Brown, teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization
(IVF) semakin populer saja di dunia. Di Indonesia, teknik bayi tabung (IVF) ini
pertama kali diterapkan di Rumah Sakit Anak-Ibu (RSAB) Harapan Kita, Jakarta,
pada 1987. Teknik bayi tabung yang kini disebut IVF konvensional itu berhasil
melahirkan bayi tabung pertama, Nugroho Karyanto, pada 2 Mei 1988. Setelah itu
lahir sekitar 300 "adik" Nugroho, di antaranya dua kelahiran kembar
empat.
Sukses besar teknik bayi tabung (IVF) konvensional ternyata masih belum
memuaskan dunia kedokteran, apalagi kalau mutu dan jumlah sperma yang hendak
digunakan kurang. Maka dikembangkanlah teknik lain seperti PZD (Partial Zona
Dessection) dan SUZI (Subzonal Sperm Intersection). Pada teknik PZD, sperma
disemprotkan ke sel telur setelah dinding sel telur dibuat celah untuk
mempermudah kontak sperma dengan sel telur. Sedangkan pada SUZI sperma
disuntikkan langsung ke dalam sel telur. Namun, teknik pembuahan
mikromanipulasi di luar tubuh ini pun masih dianggap kurang memuaskan hasilnya.
Sekitar lima tahun lalu Belgia membuat gebrakan lain pada teknik bayi tabung
yang disebut ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection). Teknik canggih ini
ternyata sangat tepat diterapkan pada kasus mutu dan jumlah sperma yang minim.
Kalau pada IVF konvensional diperlukan 50.000 - 100.000 sperma untuk membuahi
sel telur, pada ICSI hanya dibutuhkan satu sperma dengan kualitas nomor wahid.
Melalui pipet khusus, sperma disuntikkan ke dalam satu sel telur yang juga
dinilai bagus. Langkah selanjutnya mengikuti cara IVF konvensional. Pada teknik
ini jumlah embrio yang ditanamkan cuma 1 - 3 embrio. Setelah embrio berhasil
ditanamkan dalam rahim, si calon ibu tinggal di rumah sakit selama satu malam.
Di Indonesia, menurut dr. Subyanto DSOG dan dr. Muchsin Jaffar DSPK, tim unit
infertilitas MELATI-RSAB Harapan Kita, ICSI sudah diterapkan sejak 1995 dan
berhasil melahirkan anak yang pertama pada Mei 1996. Dengan teknik ini
keberhasilan bayi tabung meningkat menjadi 30 - 40%, terutama pada pasangan
usia subur.
Berdasarkan pengalaman, menurut dr. Muchsin, peluang terjadinya embrio pada
teknologi bayi tabung sekitar 90%, di antaranya 30 - 40% berhasil hamil. Namun,
dari jumlah itu, 20 - 25% mengalami keguguran. Sedangkan wanita usia 40-an yang
berhasil melahirkan dengan teknik in vitro hanya 6%. Karena rendahnya tingkat
keberhasilan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan pasien, teknik ini tidak
dianjurkan untuk wanita berusia 40-an.
Pasangan yang masuk program MELATI tidak harus mengikuti program IVF. Teknik
ini hanya ditawarkan kalau setelah diusahakan dengan cara lain, tidak berhasil.
Sebelum mengikuti program ini pun pasutri diminta mengikuti ceramah dan
menerima penjelasan semua prosedurnya agar diikuti dengan mantap.
Biaya mengikuti program bayi tabung (IVF) ini memang tidak murah. Pada akhir
1980-an biayanya sekitar Rp 5 juta. Kini, berkisar antara Rp 13,5 juta - Rp 18
juta. Harga obat suntik perangsang indung telur saja sudah naik hampir empat
kali lipat. Padahal, suntikan yang dibutuhkan selama dua minggu mencapai 45
ampul.
Selain RSAB Harapan Kita, Jakarta, teknik bayi tabung (IVF) juga sudah diterapkan
di FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga (Surabaya), dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan RS
Dr. Sardjito (Yogyakarta).